Genosida di Gaza vs Genosida Karakter Menjelang Pemilu Indonesia

Penulis: Rosikhan

Genosida di Gaza vs Genosida Karakter Menjelang Pemilu Indonesia

Genosida di Gaza vs Genosida Karakter Menjelang Pemilu Indonesia

Oleh: Rosikhan

Penghancuran Gaza oleh Israel adalah tindakan yang sangat keji. Genosida, atau pemusnahan ini bukan hanya pemusnahan bangunan fisik, fasilitas umum yang vital, bahkan juga ras manusia. Konflik yang berbulan-bulan mengakibatkan kehancuran yang tidak ternilai. Lebih dari 20 ribu manusia meninggal dunia dan ratusan ribu masyarakat sipil, wanita dan anak-anak terluka.

Media baik televisi dan media sosial, serta media cetak, menghiasi catatan kelam genosida Gaza Palestina. Gaza yang pilu, juga mencetak setiap orang menjadi informan dan narator berita yang dengan lihai mengedit, menarasikan setiap photo momen kesedihan, dalam bentuk video dan berita gambar.

Genosida Gaza adalah sejarah terparah akhir zaman ini oleh Negara Zionis Israel. Membumihanguskan entitas, bangunan, fasilitas publik, manusia dan semua sudut kehidupan.

Setiap jengkal, tak ada yang bisa menjamin keamanan manusia di Gaza, kecuali Sang Pencipta jagat raya ini. Robbil’alamiin .

Anjing menggonggong kafilah berlalu, mestinya harus menjadi International  trending  saat ini. Nyanyian lirik Iwan Fals, secara gamblang ter-refleksi dari sikap Negara Zionis, saat dimana kecaman menghujjahnya dari berbagai penjuru bumi ini.

Tak ubahnya seperti di Gaza. Indonesia juga telah terjadi semacam Genosida mental karakter.

Model genosida yang ada di Indonesia memiliki siklus lima tahun sekali. Yaitu pada setiap kontestasi Pemilu. Baik pemilu legislatif, pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati dan beberapa kontestasi lainya.

Flashback tentang bagaimana penyelenggaraan setiap kontestasi ini, kerap terjadi kecurangan. Kecurangan yang dilakukan, membawa hasil yang jauh dari harapan yang baik pada setiap penyelenggaraan pemerintahan. Produk regulasi yang dihasilkan sampai pada tahapan implementasi kebijakan.

Dalam beberapa survey yang dilakukan oleh oleh Lembaga survey Independen, yang menyoroti “Tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan”, kesimpulan dari survey tersebut adalah menunjukkan ketidak puasan masyarakat atas kinerja pemerintah.

Hal ini, menujukkan bahwa proses dalam pelaksanaan kontestasi Pemilu tersebut ada yang kurang baik. Adalah praktik Demokrasi yang tidak fair.

Merebut hati masyarakat untuk mendapatkan dukungan kemenangan dalam kontestasi politik, sering dilakukan dengan model transaksional.

Praktik-praktik seperti ini terjadi mulai era 2000-an hingga saat ini, dan sudah mengakar menjadi budaya. Karakter mental masyarakat telah berubah menjadi komersialisasi.

Paket sembako, bungkusan dana-dana pembangunan dan amplop serangan fajar, adalah amunisi bombardir mental karakter masyarakat pemilih.

Berharap rasional dalam memilih dan menentukan pemimpin adalah mimpi indah dalam tidur yang panjang.

(Karang Lebah Praya, 13 Januari 2024)

   

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow