Jiwa, Pada Sudut Pandang Berbeda
Oleh: DR. Gamawan Fauzi
Dalam sebuah dialog lauren booth, adik ipar perdana Menteri Inggris dengan seorang wanita miskin di daerah kumuh Palestina di bulan Ramadhan tahun 2008, ia menanyakan: “ Kenapa Tuhan kamu menyuruh puasa, berhaus haus dan berlapar lapar 30 hari, sedang kamu tak punya makanan dan minuman?”
“ Kami disuruh berpuasa untuk merasakan penderitaan orang miskin,” kata wanita itu.
“ Kamu miskin, tapi disuruh merasakan penderitaan orang miskin,” sanggah Laurent.
Laurent pun menangis.
Kali ini ibu miskin bertanya: “ kenapa engkau menangis?
“ Aku menangis karena melihat kalian. Anak anak kalian akan terus terbunuh tidak ada yang menghentikan walaupun mereka tau,”.
“ Kau menangis untuk kami ?” tanya ibu itu heran.
Lalu sang ibu melanjutkn, “ kami juga mencintai kehidupan dan juga kami menyayangi anak anak kami, tapi kami lebih suka berjihad dan menerima takdir Allah. Kesabaran kami ini, mudah mudahan akan memperoleh Sorga kelak,”.
Dialog kecil ini menggambarkan percakapan dua insan yang memiliki dua dimensi yang berbeda.
Laurent berkata sebagai pancaran logika, dan wanita Palestina bicara dengan pancaran iman. Dua hal yang jauh berbeda. Tapi diujung cerita, Lauren menjadi mengerti dan pada akhirnya dia menjadi seorang mualaf.
Kisah seperti dialami Lauren, sesungguhnya bukanlah satu satunya peristiwa yang terjadi di muka bumi, bahkan peristiwa lain dalam bentuk yang beda wujudnya sebenarnya menjadi keseharian umat manusia.
Namun karena sudah menjadi bagian kehidupan, kadang tak menarik untuk di bicarakan. Padahal di dalamnya terkandung segudang hikmah untuk kesempurnaan jiwa sebagai hakekat manusia.
Letjen ( Purn ) IR. Haji Azwar Anas, mantan Menteri Koordinator Bidang Kesra, saat beliau menjadi Gubernur Sumatera Barat, amat sering mengatakan, bahwa manusia adalah jiwa yang menggunakan badannya sebagai alat, sambil mensitir ayat ayat Alquran.
Saya sebagai salah seorang staf beliau , bersaksi untuk perkataan beliau tersebut.
Dalam keseharian manusia, seringkali di jumpai sikap yang bebeda antara pelaku dan pengamat, antara korban dan yang menyaksikan, antara peristiwa dan yang dibalik peristiwa, antara yang menangis dan tertawa, antara yang merasakan sakit dan mengamatinya, antara yang terlihat menderita dan yang merasa berlebih, dan antara Yang tampak dan tak tampak.
Semua peristiwa, seringkali dimaknai berbeda oleh setiap hati atau jiwa.
Bagi hati yang bersih / nafsul Mutmainnah, semua di kembalikan kepada pemilik jiwa. Karena hanya pemiliknya lah yang tau apa hikmah, apa maksud dan apa yang ingin di capai dalam setiap kejadian.
Barangkali Dia ingin menghukum, atau menguji iman dan bahkan sedang memperbaiki jiwa hambanya agar Imannya "Naik kelas", karena Dia menyayanginya, bukan membencinya, tapi dimata manusia kadang diartikan bisa berbeda.
Itulah sebabnya manusia beriman di suruh untuk membaca Innalillahi Wainna iIaihi Rajiun dalam setiap kali menyaksikan musibah. Seperti di torehkan dalam QS. (2) ayat 154. Yaitu dengan kerendahan hati dan merasakan ketidaktahuan manusia, sehingga memulangkannya kepada Allah sebagai pemilik jiwa.
Bagi pemilik jiwa yang kotor/ nafsu Amarah, peristiwa selalu dilihat dari sisi negatif, bahkan jiwa itu suka menduga duga dengan hal hal negatif, suka .menambah nambah nambah dengan sesuatu yang tak baik dan tak suka berfikir baik.
Jiwanya dipenuhi rasa iri, dengki dan kebencian . Ayam orang yang bertelur, pantatnya yang sakit, tetangganya kaya, dia yang gelisah, temannya yang sukses, dia yang tak enak badan. Kalau ada orang berurusan dengan hukum, dia menambah nambah cerita, padahal orang yang berurusan itu sendiri mungkin merasa biasa saja dan bahkan senang senang saja, orang jatuh melaratpun di komentarinya dengan versi dia, yaitu versi yang tak mengobati luka, tapi memperdalam luka.
Dia tetap mengaku beriman, tapi sebenarnya dia telah mengingkari ajaran agama, bahwa sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, innamal mu'minuna ikhwah. Seperti anggota tubuh, sakit salah satu anggota tubuh, maka semua anggota tubuh lainnya merasakannya.
Dalam sebuah hadis, rasulullah, disebutkan: Ada segumpal darah dalam diri manusia, bila dia baik, maka baiklah msnusia itu dan bila dia jahat, maka jahatlah manusia tersebut.
Tapi persoalan semacam ini, tak hanya terjadi disini, di negeri ini, atau di ranah yang menganut falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, tapi juga di belahan bumi mana saja, karena hal itu sepertinya sudah sunatullah, ada yang baik dan ada yang buruk.
Tapi apapun kata yang terucap, atau komentar yang keluar dari sebuah peristiwa, dia sama sekali takkan mampu merubah peristiwa itu sendiri.
Barangkali ada baiknya di baca sebuah surat kecil Albert Einstein kepada temannya Merie Curie, seorang peraih NOBEL dua kali, bidang Fisika dan Kimia yang baru seminggu di kenalnya dalam konferensi Elit Khusus di Brussel pada musim gugur tahun 2011.
Saat itu, Merie Curi tengah di caci maki banyak orang dalam kasus keluarga. Einsten Menorehkan tintanya pada surat bertanggal 23 Novmber 2011. Merie Curie....Para pembenci akan terus membenci, jangan dengarkan komentar mereka.....
Sepenggal kalimat itu, mungkin menjadi obat bagi Merie, sejuk dibuat jiwanya disaat dia di hujat.
Jiwa yang baik atau jiwa yang kotor, memang takkan mampu merubah dunia, tapi setidaknya manusia bisa menjadi baik dan memiliki jiwa yang bersih, jiwa yang tenang dan atau Nafsul Mutmainnah, yang kelak di panggil pemiliknya sebagai penghuni sorga...ya Ayatuhanafsul Mutmainnah, irji'i ila Rabbiki Radhiatamardhiyah. Fadkhili fi i'badihi, wadkhuli Janati. QS.89, ayat. (27 sd 30 ).
Selamat menyongsong Idhul Adha 1443 H.
Maaf lahir bathin.
Jakarta, 3 Juli 2022
What's Your Reaction?



