Pajak Pertambahan Nilai Naik Menjadi 12%: Langkah Strategis untuk Peningkatan Ekonomi atau Malah Menjadi Permasalahan yang Mencekik Rakyat?
Pajak Pertambahan Nilai Naik Menjadi 12%: Langkah Strategis untuk Peningkatan Ekonomi atau Malah Menjadi Permasalahan yang Mencekik Rakyat?
Oleh: Hanifatul Fauziah
Isu realisasi kenaikan PPN menjadi 12% di penghujung tahun 2024 ini tengah menghebohkan Indonesia dan menuai beragam respons, baik pro maupun kontra, dari masyarakat. Meskipun pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan, kajian mendalam tetap diperlukan, terutama dari perspektif asas dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Informasi mengenai penerapan tarif PPN 12% masih simpang siur. Ada yang menyatakan bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, sementara pihak lain berpendapat bahwa PPN 12% berlaku secara merata, kecuali untuk barang kebutuhan pokok masyarakat. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) secara eksplisit menyatakan bahwa beberapa barang dan jasa tidak dikenakan PPN. Barang-barang tersebut antara lain makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering. Selain itu, uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga juga tidak dikenakan PPN (Pasal 4A ayat (2) UU HPP). Adapun jasa yang tidak dikenakan PPN meliputi jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering (Pasal 4A ayat (3) UU HPP). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh barang dan jasa di luar yang telah disebutkan berisiko mengalami kenaikan harga karena akan dikenakan PPN sebesar 12% mulai 1 Januari 2025.
Penerapan PPN 12% telah sesuai dengan amanat UU HPP Pasal 7 ayat (1) huruf b, yang menyatakan bahwa tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Meskipun kebijakan ini memiliki dasar hukum yang kuat, asas vox populi, vox dei—"suara rakyat adalah suara Tuhan"—tidak dapat diabaikan. Artinya, meskipun kebijakan PPN 12% telah dirumuskan dan diundangkan, penolakan dari masyarakat dalam skala besar seharusnya dapat menjadi pertimbangan untuk menunda atau merevisi implementasinya. Hukum pajak memiliki sifat yang fleksibel, sehingga kebijakan dapat diubah berdasarkan kondisi ekonomi suatu negara. UU HPP menetapkan tarif PPN 12% dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca-Covid-19 mencapai 8-10%. Namun, stagnansi pertumbuhan ekonomi saat ini membuat penerapan PPN 12% terkesan dipaksakan.
Pasal 7 ayat (3) UU HPP menyatakan bahwa "Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)." Beberapa pihak menafsirkan bahwa pemerintah tidak wajib memberlakukan tarif PPN 12%. Tafsir ini keliru karena ayat berikutnya secara eksplisit menyatakan bahwa "Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara."
Tarif PPN 12% menjadikan Indonesia memiliki tarif PPN tertinggi di ASEAN, meskipun rasio pajak di Indonesia masih tergolong rendah yakni pada periode 2018-2022, kinerja tax ratio Indonesia bergerak tidak lebih dari 10 persen PBD. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif pajak bukanlah solusi tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara.
Menaikkan tarif PPN bukanlah satu-satunya cara. Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, dikhawatirkan Indonesia akan kembali pada kondisi pajak tinggi, pendapatan masyarakat rendah, dan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menurun, yang pada akhirnya menyebabkan stagnasi bahkan penurunan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan PPN 12% telah menuai penolakan dari masyarakat, terbukti dengan adanya petisi yang telah ditandatangani oleh lebih dari 300 ribu masyarakat Indonesia. Hal ini menunjukkan keprihatinan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, terutama karena kebijakan ini diterapkan di saat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara menurun akibat banyaknya kasus korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya 13 kasus korupsi perpajakan sepanjang tahun 2005-2019, yang menunjukkan adanya kongkalikong antara oknum pemerintah dan swasta.
Stimulus yang diberikan pemerintah berupa bantuan sosial dan penanggungan pajak selama dua bulan setelah kenaikan tarif PPN dianggap tidak cukup untuk meringankan beban masyarakat. Kenaikan harga akibat PPN 12% tidak hanya terjadi pada satu jenis barang, melainkan pada berbagai komponen. Oleh karena itu, diperlukan solusi lain yang lebih efektif dan diterima masyarakat. Penulis merekomendasikan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor non-pajak. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah; jika dioptimalkan, hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mengalihkan sektor penerimaan terbesar negara ke sektor non-pajak, sehingga tarif PPN tidak perlu dinaikan dan tidak menyebabkan penurunan daya beli rakyat.
Dalam hal Realisasi pendapatan negara pada tahun 2022 mencapai 2.635.843,10 miliar rupiah, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar 2.034.552,50 miliar rupiah dan penerimaan bukan pajak sebesar 595.594,50 miliar rupiah, serta hibah sebesar 5.696,10 miliar rupiah. Pada tahun 2023, realisasi pendapatan negara sedikit meningkat menjadi 2.637.248,90 miliar rupiah.
Penerimaan perpajakan berkontribusi sebesar 2.118.348,00 miliar rupiah, sementara penerimaan bukan pajak menurun menjadi 515.800,90 miliar rupiah. Hibah juga mengalami penurunan menjadi 3.100,00 miliar rupiah. Di tahun 2024, realisasi pendapatan negara diperkirakan akan mencapai 2.802.293,50 miliar rupiah.
Penerimaan perpajakan diproyeksikan sebesar 2.309.859,80 miliar rupiah, dan penerimaan bukan pajak sebesar 492.003,10 miliar rupiah. Hibah diperkirakan akan sangat kecil, hanya 430,60 miliar rupiah. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia belum mampu mengoptimalkan pendapatan dari sektor bukan pajak sehingga kenaikan tarif pajak masih akan terus menjadi Solusi yang akan diutamakan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara.
(Penulis Mahasiswa Semenster 5 Fakultas Hukum Universitas Jambi)
What's Your Reaction?



