Benarkah Hukuman Mati Adalah Hukuman Terberat Bagi Ferdy Sambo?
Oleh: REYSHA ZAHRA HAPTARI
EBERAPA waktu belakangan atensi publik seolah ditarik untuk mengikuti suatu kasus dugaan pembunuhan berencana yang sangat panjang penyelesainnya. Dari mulai ahli hukum, petinggi-petinggi negara, civitas akademia, hingga mahasiswa dan bahkan masyarakat umum, seolah turut serta dalam proses penyelesaian kasus ini.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya pada tanggal 19 Februari 2023 hakim memberikan putusan terhadap Ferdy Sambo sang tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua.
Putusan tersebut menyatakan bahwa Ferdy Sambo divonis dengan hukuman mati yang justru lebih berat daripada tuntutan yang sebelumnya diberikan oleh jaksa yaitu pidana seumur hidup.
Tentu putusan yang diberikan oleh hakim sudah melewati berbagai pertimbangan matang yang akhirnya memberikan hasil akhir yaitu vonis pidana mati.
Bila melihat kilas balik dari runtutan kasus pembunuhan berencana ini, tentunya dapat kita lihat secara umum dasar-dasar pertimbangan yang hakim ambil sehingga dapat membuahkan hasil yaitu pidana mati.
Brigadir Joshua selaku korban dalam kasus ini tewas dalam keadaan yang mengenaskan dalam insiden baku tembak dengan Bharada E dikediaman Ferdy Sambo.
Proses panjang dalam penyelesaian kasus ini sudah membawa kita sampai pada kesimpulan bahwa Ferdy Sambo adalah dalang dari semua tindakan durjanah ini. Masyarakat yang mengikuti kasus ini dari awal, tentu merasa puas atas vonis yang dijatuhkan oleh hakim tempo hari lalu.
Namun apakah putusan pidana mati yang diberikan oleh hakim merupakan hukuman yang tepat untuk Ferdy Sambo?
Jika ditinjau lebih lanjut putusan yang dikeluarkan oleh hakim tentunya didasari oleh Pasal 340 Subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam sidang pembacaan vonis, hakim juga menyatakan bahwa Ferdy Sambo bersalah karena melanggar Pasal 49 juncto Pasal 22 UU No. 19/2016 tentang UU ITE juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Namun, apakah memang benar bahwa hukuman mati adalah hukuman yang tepat untuk kasus tersebut. Mengingat hukuman mati sangat bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) mengenai hak untuk tetap hidup.
Selain itu, banyak negara yang sudah menghapus hukuman mati sebagai hukuman maksimal dinegaranya karena hukuman mati dianggap sebagai upaya pelanggaran HAM.
Disisi lain, juga banyak yang mempertanyakan apakah hukuman mati adalah hukuman yang paling efektif untuk tersangka pembunuhan berencana.
Banyak pakar hukum yang berpendapat bahwa hukuman mati sebenarnya bukanlah solusi terbaik dan bahkan sudah tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia, karena pada dasarnya hukuman mati hanya memberikan ilusi “efek jera” pada pelakunya.
Selain itu, Ferdy Sambo bukan hanya menjadi tersangka dalam kasus ini melainkan ia juga diduga menjadi banyak dalang kunci dalam berbagai kasus terutama yang melibatkan instansi Kepolisian RI. Merenggut kesempatan hidup Ferdy Sambo sama saja kita menutup kesempatan bagi Ferdy Sambo untuk membuka seluruh dunia gelap yang dia gandrungi selama ini.
Dan menurut saya pribadi, hukuman yang paling jahat adalah dengan membiarkan pelaku tetap hidup namun mencabut semua hak pelaku selama masa hidupnya.
Dalam hal ini, menurut saya merenggut nyawa Ferdy Sambo dengan vonis tersebut malah akan menguntungkan orang-orang dibalik layar yang belum tersentuh hukum sama sekali.
Merujuk pada World Congress Against the Death Penalty (Kongres Dunia Melawan Hukuman Mati) tahun 2022 di Berlin, Jerman. Sudah sepatutnya Indonesia turut menghapus hukuman mati dengan dasar hak hidup seseorang tanpa harus melalaikan penegakan keadilan dan penuntasan masalah.
PBB telah menaruh hak untuk hidup pada pasal kedua dari 30 pasal mengenai hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang lahir. Ferdy sambo memang merenggut hak dari seseorang manusia untuk tetap hidup, maka jangan sampai negara turut menjadi eksekutor yang harus merampas hak untuk hidup dari warga negaranya.
Terlepas dari tindakan durjanah yang dilakukan oleh pelaku. Menurut saya, sebenarnya pemerintah pun sudah berupaya untuk mengurangi kebiasaan hukuman mati dengan adanya jalan tengah pemberian masa 10 tahun percobaan yang terdapat pada KUHP terbaru.
Tidak menyetujui vonis pidana mati yang diberikan oleh hakim bukan berarti lebih mementingkan nilai nyawa pelaku pembunuhan berencana dibanding nyawa korban yang meninggal.
Tidak ada yang dapat dibenarkan atau dibela dari tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh Ferdy Sambo.
Tapi sangat penting menurut saya untuk memberikan efek jera yang membawa ke arah perbaikan diri dibanding harus memberikan kematian yang tidak berarti kepada pelaku.
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unand/BP : 22101111096)
What's Your Reaction?



